Kamis, 30 Desember 2010

Nilai Bukanlah Segalanya

Pernah nonton 3 Idiots? (Bagi lo semua yang belum pernah nonton, gue saranin bayangin ada 3 anak autis yang jerit-jerit histeris di pangkuan ibunya. Kemudian ada Bunda Dorce memberikan beberapa informasi dan terakhir ada tulisan "bagi yang ingin memberikan sumbangan dapat mentransfer ke rekening ini atas nama bla6x". Ya, 3 anak idiot).

Inti cerita dari film 3 Idiots itu adalah, bahwa nilai bukan segalanya. Tetapi ilmulah yang harus dikejar setinggi bintang di surga. (Iya, gue bohong masalah 3-anak-idiot-di-pangkuan-ibunya itu. Tapi rasanya di film 3 Idiots memang ada Bunda Dorce? Atau gue yang salah lihat?).

Mengenai nilai ini, sebenarnya ini bermula ketika awal-awal gue mulai kuliah di Unlam. Di jurusan Teknik Sipil, saat pertama kali ada yang namanya ujian. Selama SD sampai SMA namanya ulangan, di kampus gak boleh bilang ulangan. Karena di kampus sifatnya bukan mengulang, tapi menguji. Jadi disebut ujian. Bingung? Sama, gue juga. Lagian buat apa juga dibahas? Intinya ulangan atau ujian atau apapun namanya adalah suatu kegiatan untuk mengukur kemampuan seseorang. Apakah dia jago nyontek, atau jago ngerpek.

Ujian pertama ini adalah matematika. Well, bisa dibilang sebenarnya gue suka pelajaran ini. Masalah yang mendasar adalah gue orangnya kurang teliti. Saat menjawab, bisa dipastikan gue akan dikeluarkan dari ruang ujian jika ketidaktelitian gue membuat gue menulis di lembar jawaban teman gue yang duduk di sebelah. Syukurlah gak separah itu. Masalah ketidaktelitian ini bukan saat mengisi bagian yang gue rasa anak TK juga tahu. Misalnya nama, kelas, mata pelajaran. Gak banget gue nulis nama gue sebagai mata pelajaran, ntar satu sekolah pada heboh waktu tahu ada pelajaran Nizar. Pelajaran apa pula ini? Apakah pelajaran ini mengajarkan siswa-siswinya untuk mengembang-ngempiskan hidung?

Ketidaktelitian ini gue tunjukkan awalnya pada kelas 3 SD. Saat pertama kali belajar pecahan, gue pernah salah semua dalam latihan (Untungnya latihan, kalau ulangan gue gak sanggup bayangin nilai 0 ada di rapot.). Waktu itu ada angka yang bertebaran di buku soalnya. Instruksinya simpel. Letakkan angka penyebut dan pembilang pada tempat yang disediakan. Entah gue memang bodoh atau gak teliti, logika gue jalannya gini. *Di instruksi disebutkan penyebut lebih dulu, berarti penyebut di atas dan pembilang di bawah*. Gue paling cepat selesai n gue juga yang dapat 0 sendirian. Apes. Belakangan gue baru tahu cara menentukan pembilang n penyebut saat ikut bimbel UAN kelas XII SMA.
Pembi-lang, Lang=Langit. Di atas.
Penye-but, But=Pantat. Di bawah.
N gue sadar, waktu kelas 3 SD itu ketidaktelitian gue bercampur dengan kebodohan.

Kembali ke waktu ujian. Ujian ini bernama ujian sisipan 1. Entah mengapa namanya demikian, mungkin karena memang disisipkan di sela-sela perkuliahan. Apapun namanya, tetaplah ini ujian. Penentuan apakah gue teliti atau gak dipertaruhkan. Nyatanya, ketidaktelitian gue kembali mengambil peranan.

Saat ujian selesai, gue baru sadar kalau soal nomor 1 itu bobot nilainya paling tinggi, 6.
Soalnya cukup mudah, menentukan akar persamaan kuadrat. Tapi persamaannya irrasional, jadi pakai rumus abc yang legendaris itu.
Sialnya adalah saat gue menghadapi bagian seperti ini: 2 +- 2akar5 / 2.
Gue menjawabnya seperti ini: +- akar5.
Setelah lembar ujian dikumpul, gue baru sadar. Seharusnya jawabannya menjadi begini: 1 +- akar5.
N gue kemudian terjun dari lantai 3 Duta Mall.

2 minggu kemudian, hasil ujian dibagi. Benar saja, nilai gue B. Padahal gue ngarep dapat A (Sombong.). Kejatuhan ini disebabkan soal nomor 1 yang syukurnya dihargai 2 dari bobotnya yang 6. Untung gak dikasih 0. Dunia pendidikan memang baik hati. Kemudian, bobot gue juga ada berkurang di nomor 4 dan nomor 5. Di nomor 4, gue maklum karena memang terbalik. Tapi nomor 5, gue agak sangsi. Karena kawan karib gue, Andre mendapat bobot 3. Sedangkan bobot gue cuma 2. Gue perhatikan dengan seksama, lembar jawaban gue, lembar jawaban Andre. Berulang-ulang. Kemudian gue merasa pusing, kemudian gue pingsan. Saat siuman gue menjadi Avatar Aang. Bukan, begini. Padahal cara ngerjakan kami sama, jawabannya juga sama, tapi sumpah kami duduk terpisah ruang dan waktu. Maksudnya terpisah jauh, kami gak contekan. Tapi karena sering belajar bareng menimbulkan ikatan batin yang kuat.

Dosen kami, Pak Aulia berpesan kalau ada yang merasa disalahkan silahkan dibawa ke ruang prodi jam 12. Oke, gue minta tolong Andre untuk ikut sebagai pemegang nilai A yang sah, n gue berharap kalau nilai bobot gue jadi 3 juga, gue mampu dapat A.

Jam 12, di dalam prodi. Setelah dipersilakan duduk, ternyata ada juga mahasiswa lain yang mau protes. Hmm, kemudian gue merasa tindakan gue ini heroik dan memotivasi orang lain. Gak berapa lama, Pak Aulia membawa setumpuk kertas fotokopian. Ternyata, waw. Lembar jawaban kami satu kelas sudah difotokopi Bapak. Menurut gue, ini untuk arsip asuransi. Kalau ada lembar jawaban yang robek, mungkin bisa diganti dengan lembar fotokopi ini. Belakangan gue sadar kalau lembar fotokopi ini mencegah mahasiswa untuk curang dengan mengganti jawabannya saat dibagi kemudian melakukan aksi protes. Menurut gue, ntar kalau ada yang seperti itu. Pak Aulia mungkin akan tersenyum dan menyerahkan lembar fotokopian tersebut sambil berkata, "kok beda ya?". Kemudian mahasiswa yang protes itu terjun dari lantai 3 Duta Mall.

Karena gue jujur, gue gak gentar (padahal sudah joget-joget gak karuan karena nahan pipis.). Akhirnya gue sampaikan ke Pak Aulia akar permasalahannya. Pak Aulia memperhatikan sebentar, menimbang, memutuskan, akhirnya. ...
"Ini saya yang salah memeriksanya.", sambil menunjuk lembar jawaban Andre. Andre terkesiap, gue yang awalnya mau senang menatap Andre nanar. "Andre?", n gue sadar suasana di sini mulai seperti suasana sinetron.

"Iya, saya yang salah, harusnya bobot nilai kamu 2 juga.", Pak Aulia dengan bijak berkata. Gue melihat Andre, "jangan Pak. Aduh, Bapak." Andre mulai panik, n gue merasa sangat bersalah.
"Masalahnya, kalau saya betulkan punya Nizar, nanti banyak yang protes. Jadi lebih baik punya kamu yang saya turunkan bobot nilainya. Gak papa kan? Nilai kamu masih tetap A kok."

Akhirnya Andre pasrah n nilainya berkurang walau masih tetap di kisaran A. Nilai gue tetap B. Berulang-ulang gue minta maaf kepada Andre, tapi Andre adalah mahasiswa yang tegar. Dengan gagah dia menyentuh pundak gue, kemudian gue dilempar dari lantai 3 Duta Mall. Ya gak lah. Kemudian Andre berkata, "Nilai bukanlah segalanya kawan. Yang penting ilmunya." Tapi gue tetap merasa bersalah.


*Ekspresi Andre setelah kejadian di Prodi. Maaf kawan.*

Ajaibnya, mahsiswa yang selanjutnya akan melakukan protes tadi menghilang. Gak berapa lama saat gue di perpustakaan daerah, Pak Aulia menelpon gue. Rupa-rupanya beliau bertanya, kemana yang mau protes setelah gue tadi? Karena gue memang gak tahu. Semua menjadi maklum. Hmm, mungkinkah mahasiswa tersebut diculik negara Api?

1 komentar: