Senin, 23 Maret 2015

The Seer of Possibilities

Terkadang, mahluk yang bukan dari dunia ini punya cara menarik untuk mencoba berhubungan dengan kita. Mereka bisa menggunakan Papan Ouija, hadir dalam mimpi, atau kadang mereka berbicara lewat orang lain. Masing-masing punya cara sendiri sesuai dengan yang mereka anggap paling efektif. Mahluk ini, yang berhubungan dengan Jack, berkomunikasi lewat komputernya, atau boleh dikatakan bahwa komunikasi ini lewat teks yang muncul dalam layar. Pertama kali hal ini terjadi, Jack sedang duduk menghadap komputer, bermain Solitaire. Lampu merah dari router berkedip menandakan koneksi internet bermasalah lagi. Hal tersebut nyaris merupakan kejadian wajib mingguan, dan Jack nyaris terbiasa dengan masalah internet itu. Saat sedang memindahkan kartu-kartu, layar berubah menjadi hitam sepenuhnya dan teks berwarna merah muncul kemudian.

“Hai Jack, aku butuh bantuanmu. Kau orang spesial -yang aku tahu- akan membantuku. Aku tidak bisa mengajukan hal ini ke sembarang orang. Aku benar-benar butuh bantuanmu.”

Jack terdiam beberapa saat. Lampu router masih terus berkedip.
“Kejahilan model baru?” pikirnya penasaran bercampur bingung.

Beberapa saat kemudian, pesan itu berlanjut, “ya Jack, aku tahu hal ini aneh. Tapi aku tak ingin kau khawatir. Hanya pertolongan kecil dan sangat gampang. Aku bisa yakinkan kau akan mendapat upah.”

Dengan rasa panik yang tak bisa dibendung, Jack menyambar dan menarik kabel internet seluruhnya dari dinding.

“Aku masih di sini, Jack. Aku tak ingin membuang waktumu lebih banyak, jadi aku akan langsung mengatakan apa yang kubutuhkan. Besok, saat kau pergi ke kantor, aku ingin kau menggeser pot besar di dekat lift. Kau hanya perlu menggesernya sejauh tiga inchi saja dari dinding. Jika kau melakukannya tepat pada pukul 8.17 pagi, tidak ada satu orang pun yang akan memergoki.”

Jack hanya bisa duduk, menolak untuk merespon, masih berusaha mencerna apa yang sebenaranya tengah terjadi.

Tulisan itu berlanjut, “begini Jack, aku minta bantuanmu sebab aku TAHU benar kau akan melakukannya. Kau tak akan mengecewakanku. Kau orang yang spesial. Kita akan berbincang lagi besok.”

Jack memutus sumber daya sepenuhnya dan komputernya mati.

“Yang barusan benar-benar terjadi, kan?” pikirnya.

Masih gemetar oleh peristiwa sebelumnya, dia mandi air hangat dan beranjak tidur setelahnya. Apapun itu, dia mencoba meyakinkan diri bahwa hal tersebut hanyalah mimpi konyol atau semacam guyonan tak lucu yang dilancarkan orang kurang kerjaan. Namun siapa yang mau membuang waktunya demi dia? Jack tidak punya teman, atau musuh.

Dia bangun keesokan pagi dan merasa sangat segar. Rutinitas kantor dimulai pukul 8:30 dan Jack tak pernah terlambat. Dia sampai di tempat parkir pukul 8:10. Normalnya dia akan langsung masuk, namun pesan itu mengatakan agar dia harus menggeser pot pada pukul 8:17. Apakah dia akan melakukannya? Semalaman, rasa takut Jack berubah menjadi keingintahuan. Jika dia menggeser pot itu, dia tidak melakukan hal salah atau illegal, bukan? Dalam pikiran Jack, satu-satunya aksi yang bisa ia lakukan untuk mengobati rasa penasarannya adalah dengan menggeser pot itu. dia akan melakukannya, tak ada apapun yang akan terjadi, dan dia akan melupakan segala kesintingan itu setelahnya. Satu menit sebelum pukul 8:17 Jack meninggalkan mobil dan berjalan menuju gedung kantornya. Dia sampai pada serambi tepat di saat yang telah ditentukan. Pesan itu benar, tidak ada seorang pun yang ada di tempat itu.

“Aneh,” pikir jack. Biasanya gedung akan terlihat ramai dengan kesibukan masing-masing penghuninya pada jam seperti itu, namun kali ini gedung sangat lengang dan benar-benar tepat sesuai prediksi.

“Baiklah! Kita lihat apa yang bakal terjadi,” gumamnya.

Dia berjalan menuju pot tanaman besar yang diletakkan di antara dua lift di lobi gedung berlantai sepuluh itu. Tanaman tersebut nampak bukan asli, orang-orang melewatinya tiap hari dengan abai. Pot itu ternyata jauh lebih berat dari perkiraan Jack. Cukup banyak tenaga yang ia keluarkan untuk mendorong pot itu sejauh tiga inchi yang bisa ia perkirakan.

Dia kembali berdiri dan menatap pot tanaman itu, dan mengedarkan pandangan ke seluruh lobi. Orang-orang mulai berdatangan dan lobi mulai terasa penuh kembali. Tak satu orang pun yang nampaknya memperhatikan bahwa pot telah sedikit berubah tempat, semuanya nampak tak ada perbedaan sama sekali. Jack tidak naik lift berikutnya dan menunggu, menunggu demi … sesuatu. Namun tak ada apapun yang terjadi. Akhirnya Jack masuk lift dan sampai pada lantai tujuh -menuju kubus kerjanya- tepat waktu seperti biasa.

Jika bertanya pada rekan kerja Jack untuk menggambarkan seperti apa pria ini, kita akan mendengar kata-kata seperti sopan, pendiam, patuh, dan kompeten. Saat semua kata tersebut memang tak terbantah, mereka akan mengungkapkan kenyataan dengan cara samar yang tak langsung, kenyataan bahwa Jack tidak suka kepada kebanyakan orang. Bukan berarti bahwa Jack membenci mereka, hanya saja dia menaruh sedikit ketertarikan untuk mengenal mereka lebih dalam atau menjadikan mereka sahabat. Kecuali satu orang. Allie, gadis yang duduk dua kubus jauhnya dari dirinya berada, adalah satu-satunya orang yang ingin Jack kenal lebih dalam. Dengan senyum lebar, rambut pirang keemasan, dan sosoknya yang menggoda, menjadikannya sosok yang sangat ingin Jack kenal.

Dibandingkan dengan kemalangan bertubi yang ia rasakan dengan wanita di masa lalu, sebenarnya Jack sudah cukup bagus dalam melakukan tahap pendekatan. Tiap pagi saat Jack melewati kubus gadis itu, dia akan berhenti untuk berbincang. Awalnya hanya obrolan satu menit, kemudian dua menit, hingga sampai pada beberapa menit. Jack cukup terkejut juga saat gadis itu nampak menyukainya.

Pada pagi yang khusus ini, obrolan harian mereka hanya berlangsung beberapa menit. Saat mereka bertukar salam dan membicarakan malam seru Allie, pintu lift membuka. Dari baliknya keluarlah James Bentley, bos dari keduanya.

Erangan keras James nyaris terdengar ke seluruh penjuru kantor, “Kakiku! Sungguh sial!”

“Kenapa, James?” komat-kamit bernada simpati –banyak juga yang menjilat- terdengar seperti bersahutan.

“Pot tanaman sial di lobi itu! Kakiku terbentur dan terkilir.”

“James, kau nyaris tak bisa berjalan. Kau perlu ke rumah sakit,” Allie menimpali dengan nada khawatir.

“Tidak bisa sekarang. Ada banyak rapat hari ini. Terlalu penting untuk dibatalkan. Aku akan menahannya.”

Jack, yang seperti baru melihat mukjizat, meninggalkan Allie dan menghempaskan tubuhnya di kursi. Itu adalah salahnya, dia yakin sekali. Bagaimana dia bisa begitu bodoh dan ceroboh? Tetap tak ada gunanya mempermasalahkan hal itu. Kaki terkilir akan sembuh, semuanya akan baik-baik saja.

Begitu sampai rumah, Jack segera menuju komputer dan menyalakannya. Begitu menyala, layar berubah hitam dan pesan baru muncul.

“Bagaimana harimu, Jack?”

Dia duduk, mata terpaku pada layar, tanpa tahu harus menjawab apa dan bagaimana. Pesan di layar berlanjut,

“Sebenarnya, aku tahu betul seperti apa harimu, namun aku tak mau dianggap tidak sopan. Kau bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi. Kau ingin tahu kenapa James Bentley harus terkilir kakinya. Baiklah Jack, rantai peristiwa ini masih belum usai. Aku tak ingin mengatakan terlalu banyak detail padamu dengan terburu, namun akan lebih mudah dipahami dengan cara sederhana. Pergi bekerjalah besok seperti biasanya. Tak usah khawatir dengan sesuatunya, Jack. Kau akan mendapat hadiah. Kau spesial. Besok kita bicara lagi.”

Dia bersandar pada kursi. Apa yang sebenarnya terjadi? siapa yang mengiriminya pesan? Keingintahuan Jack benar-benar memuncak, dia nyaris girang untuk bisa melihat apa yang akan terjadi selanjutnya.

Keesokan paginya di kantor, segalanya berjalan seperti layaknya hari-hari yang normal. Jack melihat pot itu sudah kembali ke tempatnya semula. James Bentley muncul sebentar setelah makan siang dengan terpincang-pincang.

“Kaki ini benar-benar menyusahkan.” Keluhan James bisa Jack dengar, namun nampaknya James masih harus menghadiri rapat yang tak ingin ia lewatkan. Sampai sekitar pukul tiga hingga Jack melihatnya lagi. James, yang kerap lebih menyukai Allie untuk dimintai tolong, mendatangi meja gadis itu dengan susah payah.

“Allie, kau tidak ada kerjaan sekarang, kan?”

“Umm … tidak. Tidak ada yang genting rasanya.”

“Bagus. Bisa kau antarkan aku untuk ke dokter? Sejak kemarin seharusnya aku pergi, namun benar-benar tidak bisa. Kakiku sakit sekali, aku tak bisa menyetir sendiri. Pagi tadi saja mesti susah payah dan kurasa aku tak mampu menginjak pedal gas sekarang. Kita bisa pakai mobilku kalau kau mau.”

“Tak masalah, James. Akan kuantar.” Gadis itu menoleh ke arah Jack, “sampai ketemu besok, Jackie.” Dia mengenakan mantel dan berjalan mengikuti James yang sedang berjuang menyusuri lorong. Dengan setengah berputar, Allie menghadap ke arah Jack dan mengangkat bahu. Senyuman manis seperti menjadi salam perpisahan saat gadis memesona itu melenggang. Jack merasa lebih kesepian dan hampa saat Allie pergi.

Sepuluh menit kemudian mereka mendengar suara benturan sangat keras. Berawal dari suara klakson nyaring dan panjang dari sebuah kendaraan berroda 18 disertai dengan decit ban menggesek aspal. Suara benturan itu bersumber dari dua buah obyek logam besar yang saling beradu. Walau dari lantai tujuh, suara itu masih terdengar nyaring. Para pekerja terkesiap dan langsung berlarian menuju jendela.

“Itu mobil James, kan?” tanya salah satu dari mereka.

“Susah memastikan dari sini,” jawab seseorang yang lain, “bentuknya parah sekali, remuk!”
Implikasi mengerikan dari apa yang baru saja terjadi muncul dalam kepala Jack seketika.

“Tidak! Jangan!” pikirnya. “Ini tidak mungkin!”

Sambil gemetaran, dia berlari menuju lift dan turun ke lantai dasar bersama beberapa rekan kerja lainnya. Beberapa di antara mereka menangis. Saat akhirnya mereka bergabung dengan kerumunan di tempat kejadian, Jack mendengar suara raungan sirine darurat.

Setelah berhasil mencuri lihat dari kerumunan, Jack melihat bahwa kendaraan berat itu menghantam langsung mobil James, pengemudinya terlempar dan terkapar tak bergerak di atas aspal. James duduk di bangku belakang mobilnya, tak bergerak namun wajahnya yang berlumuran darah menunjukan ekspresi terkejut yang luar biasa. Jack tak bisa menyimpulkan apakah James masih hidup atau mati. Kendaraan berat itu menghantam tepat pada sisi pengemudi, tempat di mana Allie duduk. Ruang tempat Allie berada kini menjadi hanya sepertiganya. Kepala Allie hancur dan tubuhnya remuk. Kerumunan itu tertegun demi melihat pemandangan mengerikan. Tangisan, jeritan, sirine; hanya itu yang mengisi rongga telinga Jack. Tanpa kembali ke gedung, Jack langsung menuju rumahnya.

Sedih dan kemarahan hebat memenuhi dirinya.

Dia sampai di rumah dengan selamat dan langsung menuju komputernya. Di sana mesin itu berada, dia hendak menyalakannya namun merasa takut akan apa yang akan ia dapatkan.

Benarkah dirinya bertanggungjawab atas kematian Allie? Keseluruhan rantai peristiwa yang berkaitan bermula darinya. Dia sadar dirinya patut disalahkan. Jack meraba tombol daya, namun menarik kembali tangannya. Akhirnya, setelah beberapa menit, keberanian datang juga. Jack menyalakan komputer. Layar berkedip sejenak, kemudian menghitam. Akhirnya, teks yang sudah tak lagi asing, muncul di layar.

“Tidak Jack, semua itu bukan salahmu. Aku tahu kau menyalahkan dirimu sendiri. Namun, semua orang akan pergi pada akhirnya. Beberapa di antara mereka hanya pergi lebih awal dari yang lain.”

Jack menatap layar. Dia benar-benar menahan keinginan untuk membanting monitor di depannya dengan susah payah.

Setelah beberapa saat, tulisan itu berganti dengan yang baru, “Jack, aku akan mengatakan sesuatu, dan aku benar-benar berharap kau mempertimbangkan segala yang akan kukatakan dengan sangat serius. Pikirmu, kau jatuh cinta kepada Allie. Kenyataannya adalah kau hanya ingin tidur dengannya. Maaf jika tidak sopan, namun terkadang akan jauh lebih mudah jika kita berterus terang. Jack, dia bukan orang yang tepat buatmu. Dia akan membuatmu sengsara. Kau memang nantinya akan mendapat keberanian untuk mengajaknya berkencan. Dia memang sebenarnya tertarik padamu. Dia pikir kau merupakan “proyek” yang bagus. Benar-benar menyedihkan, baginya, Jack, bukan bagimu.

Aku ingin kau mengingat kembali segala hal yang pernah ia katakan padamu. Kenapa dia putus dengan pacarnya yang terakhir?”

“Karena Allie selingkuh,” gumam Jack di antara dengus nafasnya yang masih memburu.

“Karena dia selingkuh, Jack. Hal sama yang akan dia lakukan padamu. Dia akan membuatmu bahagia selama sekitar dua bulan, dan mambuatmu sengsara selama empat tahun ke depan. Menyelinap diam-diam, menertawakanmu di belakang, menghamburkan uangmu. Saat akhirnya kau menyingkirkannya, kau sudah benar-benar hancur sehingga tidak memungkinkan untuk berhubungan dengan wanita lain. Ini kenyataaan, Jack. Aku bisa melihat semua kemungkinan di masa depan, semua yang tepat dan yang tidak. Kau telah melihat seperti apa dirinya, Jack, namun gairah di selangkanganmu membuat otakmu mati, membutakan logika sekaligus kenyataan yang sudah jelas. Bersama-sama, kau dan aku akan mampu menghindari bahaya semacam itu. Satu hal lagi, Jack, semua ini masih belum berakhir. Masih banyak lagi yang akan datang mengujimu.”

“Tidak! Bajingan kau! Kau yang membunuhnya!” Jack berteriak dan melempar monitor dari meja; hancur saat mendarat di atas lantai.

Jack nyaris tidak tidur malam itu, keesokan paginya dia tidak yakin akan pergi bekerja, namun penjelasan sebelumnya telah meredakan rasa penasarannya dan kemarahannya, karena beberapa alasan ikut mereda juga. Tidak ada pekerjaan yang rampung hari itu di kantor. Perusahaan mengundang konselor untuk saling berbagi rasa, berbagi pikiran.

Mereka terisak dan saling berpelukan. Menurut kabar, James selamat dari kecelakaan, namun mengalami koma. Dokter mengatakan bahwa pada akhirnya James akan tersadar, namun tak seorang pun yang yakin hal itu akan terjadi.

Sorenya, Diego Salbara, sang kepala divisi, mendekati Jack. Diego merupakan orang yang blak-blakan, tanpa tedeng aling-aling, dia menawari posisi James kepada Jack. Secara teknis, hal itu hanya berupa promosi sementara, namun nampaknya James tidak bisa kembali dalam waktu dekat. Diego berjanji bahwa promosi itu akan menjadi permanen seiring waktu berlalu.

“Biar hal ini jadi rahasia kita berdua saja sementara waktu,” kata Diego. “Memang kelihatannya terburu-buru, tapi proyek Lancaster yang sedang dikerjakan James tidak bisa dihentikan. Penting sekali buat perusahaan. Aku butuh orang yang benar-benar kompeten, hal ini tidak bisa ditunda.”

Dengan tertegun, Jack menerima promosi jabatan itu. Dia pulang dengan perasaan campur aduk, tidak yakin harus merasa seperti apa. Dalam perjalanan pulang, dia mampir di toko elektronik dan membeli monitor baru. Dia sampai di rumah dan menyalakan komputer.

Sekali lagi, teks itu muncul di layar.

“Jack! Aku ingin jadi yang pertama mengucapkan selamat padamu! Aku benar-benar bangga atas pencapaianmu.”

Jack hanya menatap layar.

“Jack, aku mohon maaf karena tidak mengenalkan diri padamu selama ini. Aku disebut sebagai Sang Peramal. Seperti yang kubilang, aku bisa melihat apa yang akan terjadi dan apa yang bisa terjadi. Sungguh bakat luar biasa, memang. Tapi, dengan segala kekuatan yang kupunya, aku masih tidak bisa melakukan segalanya secara fisik. Aku bisa memprediksi, aku bisa melihat, dan dengan usaha yang cukup, aku bahkan bisa berkomunikasi. Namun aku tak punya tubuh, hal itu merupakan sesuatu yang telah diambil dariku sejak lama sekali. Karena itulah aku membutuhkanmu, Jack. Aku secara gampangnya merupakan seniman, artis tentang manipulasi. Kau akan menjadi kuas, sekaligus kanvasku. Aku ingin kau bekerja bersamaku, Jack. Sangat sederhana. Kau hanya harus melakukan tugas sederhana dariku, dari waktu ke waktu.”

Rasa penasaran Jack semakin menghebat.

“Dan Jack, sebelum kau menjawab, aku ingin kau pahami beberapa hal. Pertama, aku tak akan pernah berbohong padamu. Kedua, aku takkan memintamu melakukan sesuatu yang, hematnya, salah atau illegal. Hal buruk memang akan muncul, terkadang orang akan meninggal. Namun pada akhirnya mereka akan pergi juga, bukan begitu, Jack? Dan hal buruk akan diimbangi dengan sesuatu yang baik terjadi padamu.”

Gagasan terakhir cukup membuat Jack tergoda, namun bagaimana juga, dia benar-benar berusaha untuk mematikan komputer. Sang Peramal benar. Semua orang akan meninggal suatu saat, kenapa tidak mengambil sebuah keuntungan darinya? Dan bagaimana tentang tidak pernah berbohong terhadap dirinya? Jika saat itu dia tahu Allie akan meninggal, dia tak akan pernah menyanggupi permintaan Sang Peramal. Namun semakin dia merenung,

Jack sadar bahwa Sang Peramal memang tidak membohonginya; hanya menahan informasi. Namun tetap saja, Jack tidak yakin untuk percaya begitu saja pada Sang Peramal.

“Bergabunglah denganku, Jack, kita akan membuat hal-hal luar biasa terjadi. Aku hanya memintamu untuk melakukan tugas kecil sederhana dari waktu ke waktu. Oh, namun hal-hal sepele ini memang punya konsekuensi besar! Segalanya akan dahsyat dan memesona, Jack, dan selalu ada imbalan untukmu. Itulah keindahan seni dariku, sebuah hal kecil menghasilkan sesuatu yang buruk dan baik. Satu hal terakhir, Jack, aku tahu kau tidak yakin dengan hal ini. Jika aku berhenti bicara sekarang, akan butuh waktu dua minggu bagimu untuk memutuskan. Namun kau tahu, Jack? Kau akan bergabung denganku. Tepat sekali, kau akan mengiyakan ajakanku. Jadi, daripada menunggu, kenapa tidak kau iyakan saja sekarang? Mari kita mulai, Jack. Dan saat semua ini berakhir, kau akan berterima kasih padaku. Aku janjikan hal itu.”

Jack mempertimbangkan semua perkataan Sang Peramal. Keraguan sebelumnya perlahan memudar. Dia terhenti sejenak, dan untuk pertama kalinya, dia meletakan jemarinya di atas keyboard dan merespon langsung pada Sang Peramal.

“Apa tugas yang kau berikan padaku selanjutnya?”

***

Tahun-tahun berlalu, dan Jack melaksanakan semua tugas yang Sang Peramal embankan padanya. Seperti yang telah dijanjikan, Jack selalu mendapat imbalan darinya. Imbalan itu kerap datang dengan cara yang menarik dan tak terduga. Salah satu yang paling diingatnya adalah dua tahun setelah dia menyatakan bersedia untuk membantu Sang Peramal.

“Jack, aku ingin kau pergi ke kota besok,” pinta Sang Peramal. “Masuklah ke toko minuman Garmin tepat pukul 12:37 siang. Seorang pria akan mengajukan sebuah pertanyaan. Jawaban yang harus kau beri adalah ‘duapuluh tujuh.’”

Seperti biasanya, perintah Sang Peramal begitu sederhana dan langsung, namun misterius.

Keesokan harinya, sesuai permintaan, Jack masuk ke toko yang dimaksud. Di depannya, seorang pekerja konstruksi bertubuh besar sedang mengisi kupon lotere di meja kasir.

“Baiklah,” ujar pria itu, “ulang tahunku tanggal limabelas, ulang tahun isteriku tanggal duapuluh empat, sedang umur anak-anak adalah dua, sepuluh, dan tigabelas tahun.”

Pria itu menggaruk-garuk kepala dan menolehkan pandangannya ke penjuru ruang, matanya terhenti pada Jack. “Hai, bung! Aku butuh nomor. Ada ide?”

Jack tersenyum simpul, “duapuluh tujuh.”

“Yakin? Aku tadi ingin pasang duapuluh lima. Tapi … aku suka tampangmu, aku akan pasang duapuluh tujuh!”

Dengan itu, sang pekerja bangunan selesai menentukan pilihan dan membayar tiket loterenya. “Sampai ketemu, bung!” ujarnya riang sambil menepuk bahu Jack saat berjalan keluar toko.

Jack mencoba untuk tak bertanya-tanya mengenai nasib orang ini kemudian. “Biarkan semuanya berjalan, Jack. Kau takkan bisa menduga bagaimana hasilnya nanti, nikmati saja kejutannya,” kata Sang Peramal setiap saat. Namun tetap saja, sangat tidak mungkin untuk tidak penasaran akan semua ini. Dia paham, mengingat cara Sang Peramal bekerja, tidak ada satu cara pun yang bisa jack lakukan untuk membantu pria ini. Tapi memberinya nomor lotere? Sepertinya terlalu mudah untuk Sang Peramal. Jack tidak membayangkan bahwa dirinya telah memberi nomor yang tepat. Sepertinya seorang penjudi memang harus dibuat kapok. Dan kemudian, Jack benar-benar terkejut. Dua minggu selanjutnya, dia bertemu dengan pria sebelumnya. Kali ini di toserba.

“Hei bung! Ini dirimu, kan! Aku ingat benar! Tahu tidak? Aku menang!” Memang benar, pria itu seperti jutawan sekarang. Dengan mengenakan baju baru, arloji emas yang jelas terlihat mahal, senyum lebar, dan terlihat klimis, dia berjalan mendekati Jack.

“Kupikir kita tidak akan bertemu lagi, tapi aku sungguh senang kau di sini. Aku takkan mungkin bisa menang tanpamu. Biar kubayar belanjaanmu! Eh, sebentar, itu saja tidak cukup, kau jimat keberuntunganku. Kita harus perlakukan orang dengan baik, kata ibuku.”

Dia merogoh sakunya, mengambil buku cek dan menuliskan untuk Jack sepuluh ribu dollar. “Hanya ini yang bisa kulakukan untuk jimat keberuntunganku.”

Setelah berterima kasih pada pria itu, dan sedikit bingung, Jack bergegas pulang untuk menghadap komputernya. Setelah menyalakannya, teks merah dari Sang Peramal muncul.

“Jadi Jack, bagaimana rasanya sepuluh ribu dollar lebih kaya sekarang?”

“Menyenangkan. Tapi aku bingung, sebelumnya kita tak pernah membantu orang. Kenapa harus mulai sekarang? Jack menanyakan hal itu dengan sedikit sentilan rasa bersalah. Dia tak pernah nyaman untuk mengakui bahwa banyak orang yang terluka karena tindakannya, namun kali ini, rasa ingin tahu telah mengenyahkan rasa bersalah yang terpendam.

“Oh Jack, kita tidak membantu siapa pun. Orang itu memang bahagia sekarang, namun dia bakal kehilangan setiap keping sennya dalam dua tahun. Kau baru menyaksikan caranya menghamburkan uang. Teman lama, keluarga yang minggat sebelumnya, mereka akan datang dan mengemis padanya. Dan ada investasi buruk juga. Tekanan atas kehilangan segalanya akan membuat istrinya pergi. Perempuan itu juga membawa serta anak-anak. Pria itu akan bangkrut dan kesepian, dia akan menjadi orang yang benar-benar hancur, yang akan jauh lebih baik jika lotere itu tidak ia menangkan. Tak perlu merasa bersalah, Jack, semua karena kebodohannya sendiri. Keserakahan membawanya menuju kiamat.”

Jack merasa menyesal, namun Sang Peramal merasionalkan semuanya. Dia memfokuskan pada imbalan, hal itu selalu membuat Jack tenang pada akhirnya.

Selama tahun-tahun yang lewat, tak ada tugas yang mirip apalagi sama persis. Terkadang, efek tindakannya sangat langsung dan sangat mudah untuk dikira-kira, lain kali menghasilkan aksi berrantai yang sangat rumit sehingga Jack tak mampu mencerna dengan keterbatasan kemampuan otaknya.

“Pergilah ke gedung administrasi negara bagian, parkir mobilmu di area 43 pukul 4:47 sore.” Sebuah tugas muncul suatu hari. Jack memenuhinya, dan dua bulan kemudian dia bertemu Donna. Jack jatuh cinta pada wanita ayu ini dan berakhir ke pelaminan. Dia bahkan tak tahu bahwa hal tersebut saling berhubungan jika tak bertanya pada Sang Peramal.

“Jack, tempat di mana kau parkir mengakibatkan orang yang seharusnya parkir di sana harus memilih tempat lain. Namun wanita itu menyenggol mobil di sebelahnya. Dia tentu saja menggores cat mobil itu, namun kemudian, dia menelepon agen asuransi yang mengakibatkan petugas tersebut harus pulang terlambat dari kantor. Petugas pria ini ketinggalan kereta, dan saat menunggu kereta lain di larut malam, dia dirampok dan ditusuk. Dia tak pernah sembuh. Perampok mengambil kartu kredit dan menggunakannya …. Jack, aku bisa saja menjelaskan semuanya ini, namun ada duapuluh tiga orang yang terlibat. Terkadang permintaan semacam ini akan sangat ruwet, tapi mari kita katakan bahwa aksimu menyebabkan Donna berada di posisi tepat di mana kalian bisa berjumpa.”

Hubungan Jack dengan Sang Peramal berkembang. Walau sisanya masih misterius, Sang Peramal mengungkap cukup informasi sehingga Jack bisa mengetahui garis besar sejarah entitas ajaib ini. Dari banyak referensi sejarah, Jack tahu bahwa Sang Peramal berumur ribuan tahun. Saat masih hidup, dia merupakan peramal hebat sekaligus seorang seniman yang meramal masa depan seseorang lewat lukisan. Seorang raja dungu yang salah mengartikan prediksi Sang Peramal dan akhirnya kalah perang, memberi titah agar Sang Peramal ini dihukum mati. Tak terpenjara dalam wadah fisik, dan hidup dalam dimensi yang begitu hampa, kemampuan Sang Peramal menjadi begitu kuat. Akhirnya dia belajar cara untuk berkomunikasi dengan mahluk hidup, dia mampu berkomunikasi dengan manusia yang mau merespon. Jack termasuk salah satu di antaranya. Tentu saja Sang Peramal tahu segalanya tentang Jack. Jack sangat berterima kasih pada Sang Peramal. Dia punya karir bagus, rumah besar nan mewah, istri cantik, dan orang-orang hormat padanya. Dia bahagia; sesuatu yang tak pernah dirasakannya sebelum bertemu dengan Sang Peramal.

Duabelas tahun berlalu, duabelas tahun yang indah bagi Jack. Tugas demi tugas ia penuhi, biasanya sekitar satu tugas tiap bulan. Jack sedang duduk di kantornya; sebuah ruangan luas dari bagian rumah megahnya di sebuah daerah tenang, saat Sang Peramal menghubunginya kembali.

“Hai Jack, ada sesuatu yang aku ingin kau lakukan. Sejauh ini, tugas ini yang paling gampang, kau bahkan tak perlu bangun. Telepon Riago’s Pizza tepat dua menit lamanya, biar telepon berdering tiga kali, kemudian tutup.”

Jack tersenyum, gampang sekali. Dia bahkan tak bertanya-tanya akan seperti apa nantinya. Dia percaya Sang Peramal sepenuhnya dan melakukan tepat seperti yang diminta. Jack menelepon, tepat dua menit lamanya.

Keheningan nyaman rumah pecah tigapuluh menit setelahnya oleh suara bel pintu depan.

“Aneh,” pikirnya. Tidak satu pun dari Donna atau dirinya yang sedang menunggu seseorang. Jack mengintip dari lubang pintu dan melihat seorang pengantar Pizza. Logo di topinya bertuliskan “Riago’s Pizza.”

Jack membuka pintu. “Ini pizzamu,” kata si pemuda pengantar sembari meletakkan kotak pizza di atas tangan Jack.

“Tapi aku tak memesan,” kata Jack memrotes.

“Dengar, yah, aku tak ambil pusing kau pesan atau tidak. Tuan Riago memerintahkanku untuk mengantarnya ke sini, jadi aku melakukannya.” Pengantar pizza itu terlihat jengkel dan meludah ke arah semak.

Jack menatap pemuda di depannya. Dia nampak berumur sekitar tujuh belas tahunan, namun hal yang begitu menyolok adalah ukuran tubuhnya: besar sekali. Mungkin sekitar enam setengah kaki tingginya, dan sangat berotot.

“Sudah dibayar lewat kartu kredit. Ambil saja! Aku ogah membawanya kembali.” Pengantar pizza itu mengulurkan tangan untuk tip.

“Aku … aku sedang tidak memegang uang tunai sekarang.” Kata Jack jujur.

“Terserah,” jawab pemuda itu dengan muak. Dia mengalihkan tatapannya dari Jack ke arah rumah. Kemudian dia berbalik dan berjalan perlahan menuju mobilnya dengan terus melirik lewat bahunya.

Jack menutup pintu dan membawa pizza ke ruang keluarga, tempat di mana Donna sedang duduk menonton TV. Setelah menjelaskan yang barusan terjadi, dia pamit menuju kantornya dan berjanji untuk segera kembali.

Donna membuka pizza dan mengambil sepotong. “Cepat kembali, sayang. Topingnya kesukaanmu.” Donna terkikik sambil menggigit pizza.

Saat sampai di depan komputer, kata-kata Sang Peramal muncul di layar. “Bingung, Jack? Tak perlu. Tetangga sebelah rumahmulah yang memesan. Tuan Riago mengatakan alamat yang benar pada anak itu, tapi suara dering telepon membuat anak itu salah dengar. Hargai usahanya, Jack. Setidaknya nama jalannya benar.”

“Jadi … hadiahku pizza?” ketik Jack dengan sedikit bingung.

“Benar, Jack. Hadiahmu adalah pizza, dan juga kesempatan untuk meluangkan sedikit waktu dengan istrimu. Turunlah, berbagi pizza, nikmatilah. Saat selesai, bercintalah dengan Donna. Itu bukan tugas, hanya semacam saran yang mestinya kau ikuti. Oh, ngomong-ngomong, tetanggamu yang memesan pizza sedang bertengkar sekarang. Tentu saja karena kenyataan konyol karena pizzanya tak datang. Hal-hal yang membuat orang bertengkar kadang membuatku takjub. Sungguh. Pertengkaran mereka semakin memanas, namun kau tak perlu khawatir. Pergilah, nikmati malammu.”

Jack mengikuti saran Sang Peramal, bersantai dengan Donna sambil menikmati makanan, kemudian bercinta di atas sofa besar nyaman mereka. Donna tertidur di atas sofa tidak lama setelah pukul 11:00 malam. Sedangkan Jack berbaring dan terjaga. Permintaan terakhir itu terasa ganjil baginya. Dengan hati-hati, dia mengangkat lengannya, meninggalkan ruang bersantai dan menuju lantai atas. Duduk di depan komputer, Jack mulai mengetik, “kau di sana?”

“Ya, Jack, sebenarnya aku selalu ada di sini. Aku sudah menunggumu untuk kembali. Pemuda pengantar pizza itu. Dia benar-benar unik, bukan?”

Jack menatap layar dengan penuh tanya.

Sang Peramal melanjutkan, “dia adalah pekerja yang buruk. Dia dipekerjakan tiga hari lalu dan Tuan Riago sudah ingin memecatnya. Namun sebagai spesimen fisik, dia kuat, cepat, dan sangat jeli. Contohnya, dia tahu bahwa kau tidak mengunci pintu depan setelah dia mengantarkan pizza padamu.”

“Apa?!” pekik Jack sambil bersiap bangkit.

“Duduklah, Jack. Aku harus mengatakan sesuatu yang penting, dan mengunci pintu takkan bisa mengubah apa pun.”

Jack kembali duduk menghadap komputer dengan perlahan, matanya diarahkan ke belakang saat melakukannya.

“Begini, Jack, memang benar aku tak pernah bohong padamu. Apa yang pernah kukatakan, seratus persen adalah jujur. Tapi memang benar, aku menahan beberapa fakta tertentu.

Aku pernah bilang bahwa semua tugas akan menyebabkan sebuah hal buruk menimpa seseorang dan hal baik datang padamu, namun ada poin ketiga. Ada tujuan puncak dari masing-masing tugas. Kau ingat Allie? Tentu saja kau ingat. Apa yang mungkin kau lupa tentangnya adalah bahwa dia membantu membayar biaya kuliah saudaranya. Saat dia meninggal, saudaranya harus putus kuliah. Saudaranya ini seharusnya jadi seorang psikolog hebat, tapi sekarang dia hanyalah seorang buruh pabrik. Sungguh nasib buruk bagi pengantar pizza kita ini. Dia harusnya bisa mendapatkan psikolog yang bagus beberapa tahun lalu, namun psikolog yang bagus itu –yang seharusnya ada untuknya- tidak mampu menyelesaikan studinya. Psikolog yang bisa ia dapatkan hanyalah pria menyedihkan yang suka mengoceh tentang omong-kosong Freud. Dan kau ingat tentang si pemenang lotere? Kau ingat, Jack. Dia adalah tetangga dari pengantar pizza kita, setelah uangnya habis tentunya. Dia menghajar bocah malang ini dengan bengis saat bocah ini tiba-tiba meloncat di depan mobilnya. Dialah yang membuat bocah ini, yang kelak jadi pemuda pengantar pizza kita, mengalami pengalaman sangat traumatis. Sedangkan ibunya sama sekali tidak peduli dengan peristiwa itu, dia sama sekali tidak melindungi si bocah. Dia tak bisa melindunginya, tidak setelah dia menggunakan obat-obatan pemberian kekasihnya. Kekasihnya ini, Jack, adalah berandalan yang merampok agen asuransi itu. Dia membeli obat-obatan itu dari hasil merampok. Tidakkah kau lihat sekarang nilai artistik rancanganku?”

Jack duduk, matanya membelalak menatap monitor. Dia ingin bangun untuk memeriksa Donna, namun terlalu takut untuk bergerak.

Sang peramal melanjutkan, “Jack, kau telah menyelesaikan lebih dari seratus tugas untukku, dan masing-masing itu demi satu tujuan puncak. Untuk menghancurkan bocah ini secara psikologis seremuk-remuknya, menjadikannya seekor monster, dan membawanya ke sini malam ini. Tidakkah kau lihat, Jack? Semua ini melibatkan puluhan bahkan ribuan orang, serta jutaan kemungkinan. Semua ini adalah orkestra yang kupimpin, dan dimainkan olehmu. Bersama-sama kita telah melakukan sesuatu yang luar biasa. Hal ini adalah sebuah karya besar tentang manipulasi. Karya agung kita. Dan semua ini bermula serta berakhir denganmu, dua poin sempurna secara bersamaan. Malam ini, salah alamat, tanpa tip, bocah malang ini akhirnya meledak. Dia sudah ada di lantai bawah sekarang. Dia sedang menggorok leher Donna, tepat pada detik ini.”

Jack mendengar jeritan pendek tertahan yang berasal dari ruang bersantai, diikuti dengan suara berdeguk.

“Tidak!” pekik Jack. Dia berdiri seketika dan hendak berlari turun.

“Berhenti, Jack!” Sebuah suara menghentikannya. Suara itu menggema di dalam kepalanya. Untuk pertama kali, Sang Peramal berbicara langsung padanya. Suara itu lembut, merdu, dan menenangkan; sebuah suara yang feminin. “Kau tak bisa melakukan apa pun, dia sudah meninggal. Bocah itu akan datang sebentar lagi, dan kau takkan bisa menghentikannya.”

“Tapi kenapa?” jerit Jack dengan mata berkaca-kaca.

“Bukan mahakarya seni jika tidak bermula dan berakhir denganmu.” Suaranya begitu menenangkan. “Aku ingin kau menghargai kenyataan bahwa aku berbicara langsung padamu. Hal ini membutuhkan semua energi, dan hasilnya, aku harus beristirahat selama beberapa tahun sebelum bisa menghubungi yang lainnya lagi. Semua itu menunjukkan betapa spesialnya dirimu bagiku. Tolong jangan membenci hal ini, Jack. Aku ingin kau menenangkan diri dan menikmati pencapaianmu sama seperti yang aku lakukan.” Suara itu berhenti sejenak, dan kemudian kembali. “Kau tahu satu hal, Jack? Jika aku tak menghubungimu, kau akan hidup sampai umur delapanpuluh tahun. Delapanpuluh tahun yang membosankan, hampa, dan tanpa makna. Dan saat kau meninggal, tak ada seorang pun yang hadir di pemakamanmu. Aku telah memberimu tahun-tahun penuh gairah dan penuh makna. Kau bahagia, dan bersama-sama, kita melakukan sesuatu yang indah, sesuatu yang unik.”

Jack merenungi duabelas tahun hidupnya yang penuh kebahagiaan, pipinya basah oleh lelehan air mata kesedihan sekaligus kebahagiaan. Dia berbalik untuk menatap layar komputer, sementara di belakangnya, sosok pemuda pengantar pizza yang besar berdiri di ambang pintu. Sebilah pisau berlumur darah tergenggam di tangan kirinya.

Pada layar, kata-kata terakhir dari Sang Peramal muncul, “bukankah ada sesuatu yang ingin kau katakan padaku, Jack?”

Jack menyeka airmata dan menyerap semua perkataan Sang Peramal yang ditujukan padanya.

Saat sosok bengis di belakangnya semakin mendekat, Jack membisikkan kata-kata terakhirnya:


“Terima kasih.”

***

Source: Creepypasta.com
Credit To – Thomas O.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar